Friday, 14 December 2018

The tale of an Enlightened One,
simply told: thus came he and thus was gone.
The truth of his life was compassion.
Nibbana for the ones
such as he was, is not the goal, the ultimate one.
It is the destined end of the way their life is spent on earth.
The souls such as he was, do come and go
before we know who it was we saw.
We remember them after they are gone.
The several Mudras, the significant gestures of beatitude,
the several laconic words they spoke at several times,
remain as beacons to light our path while we live in this world.
Suffering while we live is inevitable.
What we make of it is significant.
There was a Prince who renounced his wealth.
He did not renounce the humanity who suffered.
There are sadly those who have the wealth
but inflict death
on those whom they cannot suffer because they walk a different way.
Buddha too had to suffer on account of the hunger
of those who pursued power and wealth.
There is still no answer to the Mara's blight
in the collective unconscious of humanity.

Sushama Karnik
Dec 15, 2018

Thanks for the post +永銘
Sang Buddha memberitahukan bahwa
beliau dibesarkan di dalam kemewahan,
dengan tiga istana, satu untuk setiap musim.

pada usia 16 th beliau dinikahkan dengan seorang putri raja bernama Yasodhara dan memiliki putra yang diberi nama Rahula. Pangeran Siddhattha menikmati semua kesenangan dan hak istimewa karena kedudukannya yang tinggi, di masa mudanya sampai beliau mengalami hal yang mengejutkan
karena bertemu dengan “utusan agung”, yaitu
usia tua, penyakit, dan kematian.

Hal ini menghancurkan kepuasan duniawinya dan mendorongnya untuk mencari jalan menuju pembebasan.
Maka pada suatu malam, pada usia ke 29, beliau menyelinap keluar dari ibukota kerajaan dan masuk hutan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang petapa, bertekad untuk mencari jalan agar terbebas dari penderitaan kehidupan.

Selama enam tahun beliau bereksperimen dengan berbagai macam sistem meditasi dan menjalankan penyiksaan diri yang sangat keras, tetapi beliau mendapati bahwa metode-metode ini tidak membawanya pada tujuan yang sedang dicarinya.

Akhirnya, pada usia ke 35, pada waktu bermeditasi di suatu tempat yang indah di dekat sungai Neranjara, beliau mencapai pencerahan spiritual tertinggi dan menjadi Yang Tercerahkan.

Setelah itu, selama 45 tahun, Beliau berkelana ke seluruh dataran sungai Gangga, menyampaikan kebenaran yang Beliau temukan dan mendirikan Sangha, komunitas bhikkhu dan bhikkhuni, untuk meneruskan pesan Beliau.
Pada usia 80, dengan dikelilingi para siswa, Beliau wafat dengan tenang di dekat sebuah kota kecil bernama Kusinara.

Sang Buddha tidak menyatakan diri sebagai penjelmaan agung atau nabi yang dikirim untuk umat manusia oleh Tuhan. Beliau menyatakan diri sebagai....Yang Sadar-
manusia yang dengan usaha dan pandangan terangnya sendiri, telah sampai pada pencapaian spiritual tertinggi yang mampu dicapai manusia:
kebijaksanaan sempurna,
pemurnian total, dan
pembebasan dari semua penderitaan.

Sehubungan dengan umat manusia,
fungsinya adalah sebagai guru dunia yang dengan penuh kasih sayang menunjukkan pada orang-orang jalan menuju Nibbana,
jalan keluar dari dukkha, yang telah Beliau capai sendiri.
..
SATTHA DEVAMANUSSANAM
Photo

No comments:

Post a Comment